Candi Cangkuang dan Ceritanya....

Lebaran hari kedua yang lalu (Kamis,07/07/2016) kami sekeluarga memutuskan untuk menerima undangan saudara yang akan bersilahturahmi ke Tasik. Rencana berangkat pukul 10.00 pagi dan meeting point di KM 39 setelah pintu tol Cikarang Utama. Ada 4 mobil yang tergabung dalam rombongan perjalanan ini. Berhubung yang lain belum berangkat, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat duluan. Mulai memasuki jalan tol, terlihat jalanan sudah mulai padat merayap bahkan sebelum memasuki wilayah Bekasi. Karena kemacetan yang cukup parah ini, dan ternyata rombongan yang lain juga belum tiba di meeting point, kami pun langsung melanjutkan perjalanan ke Tasik.

Singkat cerita, tibalah kami di rest area arah keluaran tol Cileunyi. Kami beristirahat disana sekalian bersantap makan siang karena memang waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Banyak mobil pribadi dan bus yang parkir disana dan rata2 berplat B. Setelah istirahat dan makan siang, kami mendengar informasi bahwa sejam lagi jalan di Nagrek akan mengalami sistem buka tutup. Mendengar informasi itu, kami segera melanjutkan perjalanan agar terhindar dari kemacetan sistem buka tutup tersebut.


Beristirahat di posko lebaran
Belum sampe Nagrek, di pintu keluar Cileunyi ternyata sudah terjadi kepadatan. Kami baru melewati Nagrek itu sekitar jam 4 sore, dan memang arah Tasik dan Garut terpantau macet parah. Karena kelelahan kami pun beristirahat di sebuah perumahan yang jadi posko istirahat juga sekitar pukul 6 sore. Kami sempat mengecek mobil dan memastikan kondisinya masih baik-baik saja. Sambil beristirahat kami pun mengabadikan moment itu.

Tak berapa lama, kami melanjutkan perjalanan. Tapi karena kemacetan ini tak berujung, kami pun memutuskan tidak jadi ke Tasik dan lebih memilih mengambil jalur Garut. Sedikit lega dan senang karena jalur Garut relatif lebih sepi, namun nyatanya itu cuma sesaat. Jalur Garut pun sama parahnya dengan ke Tasik. Hingga pukul 8 malam pun, kami belum tiba juga di Garut. Saat posisi ada di kadungora, tiba2 saja mobil mengalami mati mesin dan sulit di starter. Terpaksa kami menepi dan untungnya kami menepi di kantor polisi setempat.

Kami pun menanyakan pada salah satu polisi tersebut, apakah disini ada montir yang bisa dipanggil 24 jam..? dan polisi tersebut pun mengusahakannya. Sambil menunggu, polisi lain menyapa saya dan berkata " istirahat saja didalam mba, sambil menunggu montirnya". Saya pikir maksudnya istirahat di kantor polisi, tapi ternyata dia menyuruh saya dan keluarga beristirahat di mushola yang ada tepat di belakang kantor tersebut. Sambil menunggu kabar dari polisi lain yang mencari montir, kami pun melepas lelah di mushola tersebut. Sampai akhirnya ada yang mengabarkan bahwa montirnya baru bisa datang besok pagi.

Pak polisi yang bernama Mr. D ini pun mempersilahkan kami untuk menginap di mushola tersebut. Jujur, dulu saya sempat tidak suka dengan orang yang berprofesi sebagai polisi, tapi karena melihat Mr. D dan rekan2nya baik kepada saya dan keluarga, anggapan salah saya tentang polisi pun mulai hilang. Karena tak ada pilihan lain, kami pun menginap di mushola belakang polsek. 

Keesokan harinya, kami sudah bersih2 dan bersiap2 menunggu montir datang untuk memperbaiki. Setelah montir datang dan memeriksa, ternyata aki mobil soak, radiator bocor, dinamo ga angkat dan butuh waktu yang lama untuk memperbaikinya. Sambil menunggu mobil diperbaiki, mama punya ide untuk mengajak kami wisata ke Candi Cangkuang yang tidak jauh dari lokasi kami saat ini. Mama pun akhirnya menyewa angkot untuk mengantarkan kami kesana dan tidak sampai sejam kami sudah sampai di lokasi.

Candi Cangkuang ini adalah candi yang bernuansa hindu yang ada di Jawa Barat. Untuk sampai kesana, kami harus menaiki getek atau sampan terlebih dahulu. Biaya per orang naik sampan sekitar Rp. 5.000 dan biasanya si sampan akan menunggu sampai penuh baru berangkat menyebrangkan. Tapi jika ingin menyewa borongan sampan tersebut, maka dikenakan biaya sekitar Rp. 250.000, namun jika bisa menawar maka Anda akan mendapat harga sekitar Rp. 150.000. Setelah tiba di sebrang, maka akan dikenakan biaya masuk lokasi wisata. Untuk dewasa sekitar Rp. 10.000 dan anak-anak sekitar Rp. 5.000.

Kami pun mengikuti jalur yang telah disediakan, mulai melewati warung2 yang menjual aneka oleh-oleh khas Garut, mulai dari makanan, kain ikat kepala, cobek mini, miniatur candi, dsb. Setelah itu, kami mulai memasuki perkampungan sekitar yang diberi nama Kp. Pulo. Perkampungan adat ini memang sudah ada sejak lama dan penduduknya tidak lebih dari 6 KK. Jika lebih, maka harus ada yang keluar dari perkampungan tersebut.


Selanjutnya kami memasuki area candi yang berada diatas. Candi ini di tutup oleh sebuah pintu dan dikunci, hanya orang yang ingin bersembahyang saja yang boleh masuk ke dalam candi. Jika hanya ingin sekedar berfoto, maka hanya diperbolehkan dari luar dan tak lupa membuka alas kaki saat menaiki tangga candi. 

Saat memasuki pelataran dalam candi, saya merasa ada yang aneh dengan tubuh saya. Tangan kanan saya seolah berat dan saya mengeluarkan suara yang tak lazim. Kadang saya juga berteriak dan menangis histeris, sampai mama terpaksa memangil juru kunci untuk menyadarkan saya dan adik saya yang juga kebetulan menangis dan meraung seperti harimau. Setelah berhasil menyadarkan saya dan adik saya, kami memutuskan untuk bersembahyang. Tidak berhenti disitu, nyatanya setelah selesai persembahyangan tangan kanan saya masih terasa berat dan bahkan suka bergerak sendiri.

Saya pun meminta si juru kunci untuk menetralisir tangan saya. Karena sulit, lalu si juru kunci mengajak saya untuk menjauh dari area candi. Di pendopo tempat beristirahatlah, kemudian tangan saya di netralisir kembali. Saat keadaan sudah mulai membaik, kami segera berpamitan dan memohon ijin untuk pulang. Kami pun menyebrang dan menaiki angkot yang sama untuk balik ke polsek.

Setibanya di polsek, nyatanya mobil belum juga selesai. kembali lagi kami meminta ijin polisi Kadungora untuk meminjam musholanya. Setelah hampir seharian, akhirnya mobil kami rampung juga. Pukul 16.30 mama mengajak kami untuk kembali ke Jakarta dan membatalkan niat ke Tasik. Mama mengkhawatirkan kondisi mobil yang belum stabil dan supir yang sudah mulai kelelahan karena ga ada yang menggantikan. Hampir 7 jam menempuh perjalanan dari Garut-Bekasi, kami sekeluarga tiba dirumah pukul 23.30 WIB. Kami pun kemudian lanjut bersih-bersih dan langsung tepar dalam peraduannya masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta (penipuan) Berkedok Pelayaran

Leboy..

Pura Kawitan "Arya Pengalasan" Lampung